"Keselarasan Harta"

1 Timotius 6:17-21

Ada legenda kuno tentang seseorang biarawan yang menemukan sebutir permata yang berharga, sebuah batu mulia yang mahal. Tidak lama kemudian, biarawan ini bertemu dengan seorang pelancong yang mengatakan bahwa ia lapar dan bertanya apakah sang biarawan mau membagi sedikit bekalnya. Ketika sang biarawan membuka tasnya, pelancong itu melihat batu berharga tersebut dan terdorong untuk bertanya kepada sang biarawan apakah ia boleh memilikinya. Hebatnya, sang biarawan memberikan batu itu kepada si pelancong. Si pelancong cepat-cepat pergi, bersenang-senang dengan harta barunya. Namun, beberapa hari kemudian, ia kembali, mencari-cari si biarawan. Ia mengembalikan batu berharga itu kepada sang biarawan dan mengajukan suatu permohonan: “Berilah aku sesuatu yang lebih bernilai daripada batu ini. Berilah aku sesuatu yang membuatmu mampu memberikan batu mahal ini kepadaku!”

Paulus telah menuliskan tentang bahaya cinta uang di bagian sebelumnya (1 Tim 6:10), tapi kemudian ia menambahkan 4 hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan kekayaan:

1. Rendah Hati (ayat 17a)

Jika kekayaan menyebabkan seseorang menjadi tinggi hati, maka ia tidak memahami dirinya sendiri dan tidak memahami arti kekayaan yang ada padanya. Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan (Ulangan 8:18). Jika kita memiliki kekayaan, itu hanya karena kebaikan Allah dan bukan karena ada sesuatu yang istimewa dalam diri kita. Memiliki kekayaan materi seharusnya membuat seseorang rendah hati dan memuliakan Allah. Jika seseorang yang percaya menjadi kaya di dunia ini, dan juga di sorga dengan menggunakan kekayaannya untuk menghormati dan memuliakan Allah. Namun seorang yang miskin di dunia ini dapat juga menggunakan miliknya yang terbatas untuk memuliakan Allah, dan mereka memperoleh upah yang besar di sorga.

2. Berharap pada Allah, bukan pada kekayaan (ayat 17b)

Petani yang kaya dalam perumpamaan Yesus (Lukas 12:13-21) menganggap bahwa kekayaannya dapat mendatangkan rasa aman dan nyaman, padahal kekayaan itu sebenarnya bukti dari rasa tidak aman. Ia tidak berharap pada Allah. Kekayaan yang fana tidak hanya nilainya, tapi juga daya tahannya. Jika Allah memberi kekayaan, kita harus berharap pada-Nya. Pemberi kekayaan itu, bukan pada kekayaannya.

3. Menikmati apa yang diberikan Allah kepada kita (ayat 17 c)

“Nikmatilah berkat-berkat hidup hari ini, sebab hidup ini suatu waktu akan berakhir” (Pengkhotbah 2:24;3:12-15;5:18;9:7-10). Menikmati berkat, bukanlah Hedonisme yang mengajarkan bahwa hidup hanya untuk kesenangan. Menikati berarti menikmati semua yang diberian Allah pada kita untuk kemuliaan-Nya.

4. Menggunakan apa yang diberikan Allah pada kita (ayat 18-19)

Kita harua menggunakan kekayaan utnuk berbuat baik pada orang lain. kita harus memberi dan membagi. Kita harus membuat uang kita berguna. Apabila kita berbuat demikian, kita sendiri menjadi kaya secara rohani, dan kita mempunyai simpanan untuk masa datang (baca: Lukas 16:1-13). Kekayaan dapat memikat seseorang masuk ke dalam dunia khayalan untuk memperoleh kesenangan yang dangkal. Akan tetapi, memiliki kekayaan ditambah dengan menaati kehendak Allah dapat membawa seseorang kepada kehehidupan yang sebenarnya dan pelayanan yang kekal.

Sudahkah kekayaan saudara di dunia sudah selaras dengan kekayaan saudara di sorga?

Sharingkan:

  • Langkah praktis apakah yang memudahkan setiap kita supaya hidup seimbang? Mengapa demikian?
  • Keselarasan dalam hal apakah yang dibutuhkan setiap umat-Nya?

Komsel, Maret IV - 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahan Komsel: MENJADI ORANG KRISTEN YANG MENULAR

“Persembahan Pembangunan Gereja”

“Keluarga yang Menjadi Kawan Sekerja Allah”