Gereja: Milik Siapa?

Yakobus 3:13-18

Pendahuluan
Gereja milik siapa? Jelas jawabannya adalah milik Tuhan. Setiap orang yang dipanggil Tuhan untuk hidup secara khusus dalam anugerah-Nya adalah milik kepunyaan-Nya. Namun, banyak orang Kristen yang tidak mau mendengar dan taat pada Pemiliknya. Apa yang dilakukannya adalah apa yang disukainya atau apa yang dirasanya benar atau yang dianggap secara umum benar.

Apa yang diingkan Sang Pemilik untuk dilakukan selama kita hidup di dunia ini adalah menjadi orang-orang yang dapat membawa kedamaian dalam keserasian hidup bersama dengan-Nya, dengan sesama, dan dengan alam. Hal yang tampak mudah, namun ternyata sulit untuk dilakukan. Karena banyak dari orang percaya yang sudah terbiasa merasakan kenyaman hidup yang disuguhkan oleh dunia ini, sedangkan hal itu bukan merupakan sikap yang mendukung adanya keserasian tersebut, atau bahkan merupakan sikap yang merusak.
Ada banyak ketidakserasian yang terjadi di sekitar kita. Baik itu berkaitan dengan alam, sosial masyarakat, dunia politik dan pemerintahan, pendidikan, dan masih banyak lagi. Apakah yang bisa kita lakukan di tengah dunia yang seperti ini? Tinggal diam dengan tidak peduli dan tetap melakukan kebiasaan yang membuat kita selama ini nyaman? Atau mengubah gaya hidup sesuai kehendak Tuhan dan menjadi berkat bagi lingkungan kita? Tiga langkah yang harus dilakukan untuk mengubah gaya hidup yang sudah membuat kita merasa nyaman:
1. Harus ada kerelaan
Seperti Musa yang telah memiliki segala kesenangan dan kenyamanan dalam hidupnya. Dia rela meninggalkan semua itu untuk melakukan tugas khusus dari Allah yang memang tidak mudah. Namun dengan kerelaannya, dia dapat menjadi sosok yang luar biasa berharga bagi suatu bangsa besar.

2. Harus berani berkorban
Tatkala Nabi Hosea diminta Tuhan untuk mengawini perempuan sundal, tentu hal ini bukan suatu tugas yang gampang dan wajar. Namun Hosea rela mengorbankan harga dirinya, keluar dari kenikmatan hidup. Sebagai seorang nabi yang kemungkinan besar karena hal ini ia akan diejek dan dicaci. Namun Hosea berani membayar harga, karena ia tahu Tuhan Allah telah membayar harga kepadanya terlebih dahulu. Memang, kalau kita tidak berani mengambil resiko, maka kita tidak akan pernah dapat meninggalkan "wilayah kesenangan" kita.

3. Harus beriman
Beriman bukan hanya sekadar percaya kepada Allah, tetapi sekaligus ada penyerahan secara total kepada dan mempercayakan seluruh hidup kepada Tuhan. Dan jangan berpikir setiap kita keluar dari kenyemanan kita itu berarti memasuki kondisi yang tidak menyenangkan. Kenyamanan yang kita rasakan ini bersifat sementara. Yang terpenting adalah kita memperoleh kenyamanan hidup bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Hal inilah yang sifatnya kekal, tidak akan direbut oleh siapapun. Masalahnya adalah, sudah siapkah kita melangkah?

Sharing
1. Kenyamanan yang ada pada kita sering kali menjadi sumber penghalang bagi kita untuk bertindak dan mengambil keputusan. Kita lebih mengasihani diri sendiri ketimbang orang lain. Kalau itu yang terjadi dalam diri kita maka jangan harap kita beranjak untuk berbagi untuk orang lain. Bagaimana cara sederhana untuk bisa keluar atau meninggalkan kenyamanan itu untuk bisa menjadi saluran berkat?
2. Apa yang dapat saudara lakukan untuk lingkungan (alam, sosial masyarakat, pemerintahan, dsb) yang sedang membutuhkan pertolongan? Relakah Anda mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu bagi mereka?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahan Komsel: MENJADI ORANG KRISTEN YANG MENULAR

“Persembahan Pembangunan Gereja”

“Keluarga yang Menjadi Kawan Sekerja Allah”