Formalitas Spiritual

Suatu malam, seorang wanita sedang menunggu di bandara. Masih ada banyak waktu sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di sebuah toko di bandara, lalu menemukan tempat duduk. Sambil duduk, wanita itu memakan kue sambil membaca buku yang baru dibelinya. Dalam keasyikannya, terlihat lelaki di sebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua kue yg berada diantara mereka berdua. Wanita itu mencoba mengabaikan agar tak terjadi keributan.

Ia terus membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si “Pencuri Kue” itu menghabiskan persediaannya. Ia makin kesal sementara waktu terus berjalan. Wanita itu pun sempat berpikir: (“Kalau aku bukan orang baik, tentu sudah kutonjok dia!”). Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki itu juga mengambil satu. Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan, dan ia segera mengumpulkan barang-barang miliknya dan menuju pintu pesawat lalu naik pesawat dan duduk di kursinya. Ia mencari buku yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas karena terkejut. Ternyata disitu ada kantong kuenya, masih penuh terisi. Koq milikku ada di sini, jadi kue tadi adalah milik siapa. Milik lelaki itu? Ah, terlambat sudah untuk meminta maaf; ia tersandar dan sedih. Bahwa sesungguhnya akulah yang salah, tak tahu terima kasih dan akulah sesungguhnya sang pencuri kue itu; bukan dia!.

Di Matius 12:1-8, dikisahkan orang-orang Farisi dengan mudah langsung menilai kesalahan orang lain daripada diri sendiri. Mereka bisa segera tahu para murid dan Yesus ‘melanggar’ Taurat, yaitu beraktifitas pada hari Sabat (ayat 2, 10). Lalu Yesus memberikan beberapa contoh: yaitu Daud yang malah makan korban persembahan di Bait Allah, yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi para imam (ayat 4). Dia juga mengisahkan para imam malah melakukan banyak akfititas di Bait Allah. Kalau menurut pandangan mereka, maka mereka semua pasti mlanggar Taurat. Lalu Yesus, membawa mereka kepada suatu pelajaran rohani, yaitu bahwa Allah Bapa bukan menekankan formalitas pada aktifitas keagamaan tetapi apakah aktifitas keagamaan itu makin mendekatkan mereka kepada Allah. Apakah dengan formalitas keagaaman spiritual (kerohanian) saudara mengalami formasi (perubahan ke arah yang lebih baik) atau malah hanya menangkap kulit dari firman daripada inti dari firman itu sendiri (ayat 7,12). Kiranya PELITA minggu menjadi bahan koreksi diri dari rohani saudara sekalian, sehingga melalui perenungan selama seminggu, saudara makin di dekatkan kepada inti firman yang Tuhan Yesus terjadi dalam hidup saudara.
Dari Meja Gembala

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahan Komsel: MENJADI ORANG KRISTEN YANG MENULAR

“Persembahan Pembangunan Gereja”

“Keluarga yang Menjadi Kawan Sekerja Allah”