Rabu Abu

RABU ABU
Pendahuluan
-        Pa, kenapa sih sekarang Gereja Kristen [ Kalangan GKI sdh membuat acara ibadah ini] membuat ibadah Rabu Abu, kayak Katolik aja? Saya tidak tahu kalau di dalam Sinode GMIM sudah ada dalam Tata Gereja juga ngga?
-        Dahulu dalam kalender Gereja, masa kesengsaraan itu 7 minggu [minggu Advent], namun dalam perkembangan menjadi 6 minggu karena dihitung 40 hari sebelum Jum’at Agung. Dan hari pertama dalam hitungan itu, jatuh pada hari Rabu.

1.               Dalam tradisi Kalender Gereja (termasuk Gereja Katolik Roma dan Kristen), yang dimaksudkan dengan Rabu Abu adalah hari pertama masa Pra-Paskah dalam liturgi tahunan gerejawi. Hari ini ditentukan jatuh pada hari Rabu, 40 hari sebelum hari Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu, atau 44 hari (termasuk hari Minggu) sebelum hari Jumat Agung.
2.               Dalam Gereja Katolik, pada hari itu mereka yang datang ke Gereja dahi-nya diberi tanda salib dari ABU sebagai simbol upacara ini.
·       Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel kuno di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (misalnya seperti dalam Kitab Ester, yaitu Ester 4:1, 3).
·       Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu": "Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan."
·       Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, "Bertobatlah dan percayalah pada Injil."
·     Pada hari ini umat Katolik berusia 18–59 tahun diwajibkan berpuasa tiap hari Jum’at selama 40 hari (sebelum Jum’at Agung), dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang.

Kisah Dalam Alkitab:
1.     Yosua 7:6 selalu disertai dengan koyakan baju, sujud, tangisan dan taburan abu atau debu. Ini menunjukkan keberdosaan, penyesalan dan permohonan untuk kekuatan dari Tuhan kembali.
2.     2 Samuel 13:19
3.     Ayub 2:12; 42:6
4.     Yunus 3:5-6, Sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu
5.     Ratapan 2:10,
6.     Daniel 9:3-6 Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu (ayat 3)
7.     Yoel 2:13 berkata: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu”. Jadi yang dikehendaki oleh Tuhan dalam ibadah puasa adalah “hati yang mau dikoyakkan” sehingga kita dengan sungguh-sungguh menyesali semua kesalahan dan dosa kita. 
8.     Mat 11:21- Yesus juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira,
Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.” Memang jika melihat sumber-sumber dalam kitab suci, begitu banyak referensi penggunaan abu.

Sejarah Gereja:
1.     Dalam bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.”
2.     Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana yang terkenal, menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan
3.     Ritual perayaan "Rabu Abu" ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary, diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya: "Kita membaca dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah dengan menaburkan abu di kepala sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita." Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.
4.     Barulah pada awal abad ke-11, ada catatan yang menggambarkan pengolesan abu pada hari Rabu sebelum memasuki Masa Prapaskah dan pada akhir abad tersebut, Paus Urbanus II menitahkan penggunaan abu secara umum pada hari tersebut.
1.     Mengingatkan kita bahwa kita dari Debu dan suatu akan kembali kepada Debu - Kej 3: 19 dan Pengkhotbah 12: Ini memaparkan kepada kita akan KEFANAAN dari manusia.
2.     Romo Sanders dari Our Lady of Hope Parish di Potomac Falls yang juga seorang professor kateketik dan teologi Universitas Notre Dame menjelaskan sbb. Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/tobat. Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja berniat membunuh semua orang Yahudi (Est 4: 1). Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42: 6). Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu (Dan 9: 3). Sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3: 5-6). Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu, "Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu." (Mat 11: 21, Edisi Pastoral Katolik).
3.     Makna bagi persiapan memasuki Jum’at Agung.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahan Komsel: MENJADI ORANG KRISTEN YANG MENULAR

“Persembahan Pembangunan Gereja”

“Keluarga yang Menjadi Kawan Sekerja Allah”