Yesus Ada Bersamaku

Saya lahir dan dibesarkan dalam suatu agama yang tidak sekedar menjadi Kristen belaka. Sisi positif, saya dibesarkan dengan dalam prinsip2 moral, dalam bimbingan, dalam komunitas, dan sejumlah besar pengetahuan Alkitab. Selain itu, saya juga ditanamkan dengan aturan2, batas-batas, hukuman, rasa bersalah, rasa malu, dan isolasi. Saya takut melakukan kesalahan dan memalukan keluarga saya. Saya diajari Kitab Suci dengan cara negatif, dan saya dibuat merasa seperti tidak peduli apa yang saya lakukan, itu tidak pernah cukup baik untuk Allah.

Ibuku memiliki masalah medis di sepanjang hidupku. Ketika saya berumur 16 tahun, ayah saya didiagnosa menderita kanker tahap akhir. Kewalahan oleh diagnosis ini dan ibu yang sakit, saya mencoba untuk kembali kepada Tuhan. Tetapi meskipun saya sudah berusaha, saya tak pernah merasa bahwa Yesus adalah sahabat bagiku. Saya pernah mengalami hubungan yang dekat dengan-Nya dimana saya mampu berbicara kepada-Nya tentang masalah2 saya.

Seminggu setelah ulang tahun saya yang ke 18, ibu saya meninggal tiba-tiba. Aku merasa begitu kesepian. Ibu adalah perekat dari keluarga kami, sahabat terbaikku. Saya sangat merindukannya setiap hari.

Mama dan aku memiliki keteguhan dalam iman, dan saat ini, Tuhan seolah menjadi pribadi terakhir, dimana saya ingin menangis di bahu-Nya. Namun, aku mulai merasa Dia biasa saja, terasa Dia Allah yang kejam, Aku jadi membenci-Nya ... dan mulai menghentikan kepercayaanku kepada-Nya. Aku mulai meninggalkan imanku, meninggalkan Tuhanku, dan saya tidak mau menoleh ke belakang lagi.

8 bulan setelah ibu saya meninggal, saya bertemu dengan seorang pria yang akhirnya jadi suamiku, Justin. Dia percaya pada Tuhan dan pergi ke gereja, tapi dia tidak mendalam, mungkin itu jalan terbaik bagi saya.

Ketika saya masih 20 tahun, ayah saya akhirnya meninggal juga karena kanker. Gereja tempat kami beribadah (semasa kecil) telah memutuskan bahwa saya seorang pendosa, karena hidup di luar jalan Allah. Mereka melarang kami untuk berbicara dengan teman-teman. Jadi di saat saya sangat membutuhkan bantuan, aku merasa Tuhan maupun Gereja tidak ada di sana untuk saya.

Waktu cepat berlalu, Saya sekarang berumur 23 tahun. Keluarga suami saya mengundang kami ke gereja mereka. Kami membuat kesepakatan. Kami menghadiri sekali saja dan tetap terbuka untuk kehadiran selanjutnya. Tetapi jika kita tidak sepakat, mereka akan meninggalkan kami sendirian. Pada awalnya saya sangat tidak nyaman. Dan pagi itu kami berjumpa SIAPA Allah yang sesungguhnya, dan saya berderai ari mata. Berita tentang kasih Allah, tidak hanya untuk setiap orang, tetapi ternyata Dia hadir untuk saya secara pribadi.  Saya mulai maju terus dan memegang setiap firman dan yakin bahwa firman itu adalah untuk saya.

Dia tidak meninggalkan saya!

Saya telah membaca Alkitab sebelumnya, tapi sepertinya firman Tuhan itu baru pertama kalinya kudengar. Firman itu bukan tentang aturan dan disiplin dan kebencian. Tetapi tentang cinta, pengampunan, dan pengorbanan. Allah, yang telah menyerahkan Putra-Nya, Yesus, Allah tahu benar apa yang disediakan-Nya, dan Dia melakukannya karena Allah mencintai saya dan Anda. Wow menakjubkan!!!!.

Sejak Minggu pertama itu, saya dan suamiku telah terpikat. Mungkin lebih tepat: terobsesi. Untuk pertama kalinya dalam 23 tahun, saya benar-benar menikmati hubungan dengan Tuhanku atau terasa menyatu dengan-Nya. Hidup kami telah berubah begitu banyak. Hubungan pribadi saya dengan Tuhan sungguh luar biasa. Saya terus belajar hal-hal baru setiap hari. Yesus ada dalam hidupku, Ia memegang tangan saya ketika saya membutuhkan-Nya dan membiarkan saya menangis di bahu-Nya. Dia tidak pernah menghakimi; Dia hanya menunjukkan cinta dan kesabaran.

Saya sangat bahagia menghabiskan hari-hari di hidupku untuk mengenal Yesus yang ada untuk saya dan menjadi sahabat terbaikku.
Alicia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahan Komsel: MENJADI ORANG KRISTEN YANG MENULAR

“Persembahan Pembangunan Gereja”

“Keluarga yang Menjadi Kawan Sekerja Allah”